BAHKAN PANDAWA PUN LEBIH KURAWA

Rabu, 25 Mei 2011

pada satu bintang

Rangkaian kejadian masa lalu membuat dada Marsya berdegup kencang dan sakit. Dio membiarkannya pagi tanpa sapaannya, membiarkan ujung waktu redup dan terluka. Pemuda itu memang bukanlah siapa-siapa lagi untuknya, tapi Dio pernah menjadi pusat dari segalanya.

Marsya berjalan keluar dari bungalo sambil menggenggam gelang pemberian Dio. Tak perlu mencari, pemuda itu sedang berdiri di bibir pantai, memandangi birunya laut. Marsya segera menghampirinya.

“Yo...” panggil Marsya.

Dio menoleh dan tersenyum melihat gadis yang mengenakan kaos warna putih dan celana jins pendek itu. Namun, ia terkejut ketika Marsya membalikkan telapak tangannya dan menaruh gelang kerang pemberiannya di sana.

“Ini yang kamu anggap sebagai maaf, Yo?” tanya Marsya ketus.

“Sya, aku—” Wajah Dio memucat.

“Kamu memang nggak pernah ngerti perasaanku, Yo!” sela Marsya.

“Sya—”

“Kamu cuma mikirin kepentinganmu sendiri tanpa peduli perasaan orang lain! Kamu cuma ingin diri kamu yang bahagia! Egois!”

“Sya, dengar dulu...”

“Apa? Apa yang perlu aku dengar?” Marsya menatap marah. “Mendengar kamu udah jadi orang hebat? Mendengar impian kamu kamu udah tercapai? Mendengar kamu seneng ninggalin aku sendirian, batalin pernikahan kita, iya?”

“MARSYA!” bentak Dio. Wajah pemuda itu merah padam. Ia menatap dengan sorot mata tegas. “Bisa kamu kasih waktu aku ngomong?” Dio menghela napas, kemudian bicara. “Aku emang salah, Sya. Kamu bener, aku egois! Aku cuma mentingin kebahagiaanku. Aku ninggalin kamu, batalin pernikahan kita. Tapi sebenernya, aku nggak ada niat kayak gitu! Aku cuma mau kamu nunggu!”

“Nunggu?” Marsya mendengus kesal. Ia tak percaya dengan pendengarannya. “Berapa lama? Sampe aku nenek-nenek?”

“Sya, aku cuma minta waktu. Aku nggak niat batalin pernikahan kita, tapi ngundurin waktunya aja,” kata Dio pilu. “Tapi, kamu berhak benci aku, atau seperti yang pernah kamu bilang, ngelupain aku. Benci aku, lupain aku, Sya!” jemari Dio meraih tangan Marsya, mengarahkan ke wajahnya. “Kalau kamu mau, kamu boleh caci-maki aku, pukul aku! Tapi... aku cuma pengen kamu tahu, alasan aku di sini, alasan aku pulang, alasan aku nggak bisa tidur sepanjang malam, alasan aku memberikan gelang kerang itu...” Dio mendekatkan wajahnya, lalu berbicara pelan. “...karena aku sayang kamu, Sya.”

Marsya terdiam mendengar kata-kata Dio. Ia terpaku. Lidahnya kelu.
 Sekalipun Sagitta tidak mempunyai bintang yang cerah
Namun, aku mampu menjadi Prometheus
Yang rela mengorbankan diri
Demi secercah cahaya abadi
Untukmu, pada satu bintang…

“Aku tahu, apa yang kau inginkan jauh lebih berharga dari apa yang telah kau raih, dan apa yang kau impikan jauh lebih berarti dari apa yang telah kau gapai…”

Berapakah jarak antara cinta dan mimpi?

Demi menggapai mimpi, Dio rela meninggalkan semuanya, termasuk Marsya.

Dengan mata basah, Marsya merelakan Dio pergi. Ia tak pernah tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, tetapi yang ia tahu, pertemuannya dengan Dio adalah sebuah kejutan yang indah, seperti daun-daun basah di pagi hari terbiaskan embun.

Di langit malam dirimu berpijar, Orion
Aku adalah Sagitta yang berada di langit utara
Sehingga di manapun kau berdiri
Kau selalu dapat melihatku…
dedicated for peri kecilku.. kamu gag pernah tau rasa sayangku padamu..
thanks mba anna inspirasinya..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

message