BAHKAN PANDAWA PUN LEBIH KURAWA

Sabtu, 10 Maret 2012

lamunan palestina

Cukup lama aku terdiam di ujung kota Beit Hanoun, salah satu sudut negeri Palestina yang porak poranda akibat sejumlah roket dan bom yang ditembakkan. Sudah tidak ada tempat yang aman untuk berlindung. Sekolah-sekolah tutup, masjid-masjid dihancurkan, rumah sakit dibom, bahkan di rumah pun menjadi semakin menakutkan. Di manakah tempat aman di negeri ini, ya Allah?

Di telinga ini amat bising dengan bunyi roket yang dijatuhkan, bunyi sirine yang seakan tak ada henti, bunyi suara anak yang kelaparan, bunyi jeritan orang tua dan anaknya tiba-tiba terbujur kaku tak bernyawa, bunyi tangisan sembunyi orangtua ketika anak-anaknya tertidur, bunyi kebingungan seluruh dunia mendamaikan perang ini, bunyi roda-roda tank yang menuju wilayah kota-kota penting Jalur Gaza, bunyi para demonstran yang mengutuk serangan ini.

Malam bertambah dingin karena Ummi tidak berani menutup jendela. Dia takut pecahan kaca akibat radius ledakan mengenai tubuhku dan saudara-saudaraku yang sedang tertidur meski tidak pulas. Abi sudah meninggal akibat serdadu Israel.

Di ujung kota ini aku tepat berada di depan rumah Lama. Rumahnya sudah menjadi tumpukan puing-puing. Beberapa malam setelah sekian jenak kilatan cahaya jingga dan menyusul gempulan asap dari utara rumahku, aku tak tahu bangunan apa yang dijatuhkan roket Israel, dan kemudian aku baru mengetahuinya keesokan harinya. Kebencian itu terlalu bergolak melihat mayat Lama saat disolatkan bersama mayat adiknyaGerahamku saling menekan, jemariku mengepal, kemudian pandangan mataku tiba-tiba kulempar ke arah langit tepatnya ketika telingaku menangkap bunyi ledakan dan ujung mataku terlihat gempulan asap bertebaran di udara. 

Perang ini sudah dimulai berpuluh-puluh tahun sebelum aku dilahirkan dan entah sampai kapan akan berakhir.

Aku masih berada tepat di depan tumpukan puing-puing bangunan, merenungi hal yang sedikit-sedikit mulai aku mengerti. Esok, serangan darat Israel akan kembali menyerbu negeri ini lagi, aku mendengar berita itu dari temanku, Moawiya. Esok, pasti akan ada banyak Lama yang meninggal. Akan ada banyak otangtua yang menangis. Akan ada banyak warga sipil yang kehilangan orang-orang yang dicintai. Akan ada banyak manusia yang tak bernyawa lagi di negeri ini.

Aku berlari menuju rumah meminta izin pada Ummi untuk ikut membantu kakakku, Gamal, bergerilyawan. Harus. Bila tidak diperbolehkan, aku akan mengancam Ummi untuk pergi diam-diam dari rumah dan langsung bergabung dengan organisasi gerilyawan militant yang entah ada di mana.

Aku terus berlari ke arah selatan kota. Ke arah restu Ummi. Ke arah rumah yang beberapa jam kemudian kakakku pulang dan membawaku ikut berperang.

“Allahu akbar!” seruku dalam hati.

Tidak ada perlindungan selain Engkau, ya Rabb…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

message